OM SWASTYASTU

PRATI SENTANA SANAK SAPTA RSI PASEK GELGEL
YEH SONG-GESING

A NAMO BHADRAH KRATAVO YANTU VISVATO ADABDHASO APARISATA UDBHIDAH, DEVA NO YATHA SADAMID VRDHE ASAN APRAYUVO RAKSITARO DIVE, DIVE



Selasa, 23 November 2010

PEDOMAN SEMBAHYANG






Urut-urutan Sembahyang

Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti di bawah ini:


1. Sembah puyung (sembah dengan tangan kosong)
Mantram: artinya:
Om atma tattvatma suddha mam svaha. Om atma, atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

2. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sang Hyang Aditya
Mantram: Artinya:
Om Aditisyaparamjyoti,
rakta teja namo'stute,
sveta pankaja madhyastha,
bhaskaraya namo'stute

Om, sinar surya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah,
hormat padaMu,
Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih,
Hormat padaMu pembuat sinar.

Sarana bunga

3. Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan

Ista Dewata artinya Dewata yang diingini hadirnya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya seperti Brahma, Visnu, Isvara, Saraswati, Gana, dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja ialah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa. Pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan stawa-stawa yang lain pula.
Pada persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa yang berada dimana-mana. Stawanya sebagai berikut:

Mantra Artinya:
Om nama deva adhisthannaya,
sarva vyapi vai sivaya,
padmasana ekapratisthaya,
ardhanaresvaryai namo namah
Om, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang inggi, kepada Siwa yang sesungguhnyalah berada dimana-mana, kepada Dewa yang yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Adhanaresvari, hamba menghormat
Sarana kawangen

4. Menyembah Tuhan sebagai Pemberi Anugrah
Mantra Artinya:
Om anugraha manohara,
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.
Deva devi mahasiddhi,
yajnanga nirmalatmaka,
laksmi siddhisca dirghayuh,
nirvighna sukha vrddhisca


Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah,
anugerah pemberian dewa, pujaan semua pujaan,
hormat pada-Mu pemberi semua anugerah.
Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi suci,
kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegem- biraan dan kemajuan

Sarana bunga

5. Sembah puyung (Sembah dengan tangan kosong)
Mantram: artinya:
Om deva suksma paramacintyaya nama svaha Om, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi yang gaib

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI

ASTA KOSALA KOSALI


Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.

Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.

Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.

Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

1 Tujuan Asta Bumi adalah
a Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b Mendapat vibrasi kesucian
c Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi
2 Luas halaman
a Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15.
b Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13

Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.

Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15).

Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).

HULU-TEBEN.

"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu

  1. Arah Timur, dan
  2. Arah "Kaja"

Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.

Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.

Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN.

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

PEMBAGIAN HALAMAN.

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:

  1. Utama Mandala
  2. Madya Mandala
  3. Nista Mandala.

Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.

Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;

Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;

Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.

Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih

"Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.

Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

MENETAPKAN PEMEDAL.

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

JARAK ANTAR PELINGGIH.

Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN. Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.

Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).

Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

Sumber: Bhagawan Dwija

Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja - Bali. Telpon: 0362-22113, 27010. HP 081-797-1986-4

Bangunan diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.

Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar
Oleh N. Gelebet

Menyukuri kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan dalam manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan gunung, padma kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan kemanjaan teknologi.


Kesadaran mendasar dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya. Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.

Proses Membangun Pura

Berawal dari nyanggra pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak, ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci, nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat terwujud.

Selanjutnya ngelakar sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.

Pekerjaan komponen konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka, namun wajib menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.

Bahan bangunan, tukang dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu karismatis.

Pemugaran Pura-pura kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa tanpa magis power yang menjiwai.

Pembangunan pura tanpa pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.

Pekerjaan Konstruksi

Setelah nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug, ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit. Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.

Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan.

Pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional.

Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan diabaikan.

Ngurip Wewangunan

Prosesnya sejak awal, ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai namanya.

Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.

Klasik, etnik dan unik memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia.

Benarkah dengan diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu yang semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin penjiwaan terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang dibangun dengan sistem tender.

Raibnya bukti pura, ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.

Sumber: Terimakasih kepada Bali Post

Kamis, 11 November 2010

Tradisi Unik Nyakan Ring Margi Serangkaian Perayaan Tahun Baru Caka Nyepi di DESA GESING, Buleleng, Bali


Tradisi yang telah mendarah daging yang hingga kini dapat tetap menjaga kerukunan antar sesama sebagaimana yang diharapkan dengan pelaksanaan "Tri Hita Karana", patut kita jaga keberadaanya. Salah satu tradisi yang hingga kini kental dan kita dapat jumpai sebagai implementasi ajaran Tri Hita Karana tersebut yaitu Nyakan Ring Margi/Masak di Jalan saat Perayaan Tahun Baru Caka Nyepi, di DESA GESING, Buleleng, Bali.

Tradisi turun-temurun yang diselenggarakan krama di Desa Gesing, dilaksanakan sehari setelah pelaksanaanTapa Brata Penyepian ( Amati Geni, tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu, Amati karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani, Amati lelungaan, yaitu tidak bepergian melainkan melakukan mawas diri dan Amati lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi) atau pada saat ngembak geni berlangsung.

Tradisi unik itu dinamakan nyakan ring margi/diwang. Tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu berupa menanak nasi di luar rumah tepatnya di pinggir-pinggir jalan di Desa Gesing. Kegiatan ini sesungguhnya salah satu tradisi unik turun temurun yang ada di Bali. Hanya saja hal ini, nyakan ring margi /diwang ini kurang dikenal krama Desa Gesing. Pelaksanaannya itu atas dasar kesadaran krama setempat. Tanpa ada ancaman sanksi atau hukuman adat dari desa bagi yang tidak melaksanakan. Tetapi krama merasa ada beban secara niskala bila tidak ikut melaksanakan kegiatan itu. Begitu pula tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan bagi yang tidak melaksanakan. Tapi karena ini merupakan tradisi yang ditinggalkan para leluhur secara turun temurun maka krama kami memiliki kewajiban moral dan niskala untuk melaksanakan. http://id.wikipedia.org/wiki/Nyepi

Rabu, 10 November 2010

Upacara Ngaben Keluarga Besar "SANAK SAPTA RSI PASEK GELGEL DESA GESING"




Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).


Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.

Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.

Didalam perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.

Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.

Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai.

tujuannya

tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi kea lam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bisa ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun.
dalam waktu setahun sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem (dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan, sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini.

mengapa cuma 1 tahun??
Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan di tempatkan di Neraka

Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :

1.Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia.
2.Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia.
3.karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala.
4.Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya.
5.Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua manusia.

Misteri Bunut Ngengkeng di Desa Gesing Buleleng


Bunut Ngengkeng itulah nama sebuah pohon yang berdiri kokoh di sekitar Pura Pecalang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng. Pohon bunut ini diklaim sebagai pohon terbesar dan tertua di Bali yang menyimpan berbagai kegaiban serta keajaiban. Pun, selain sangat angker, penguasa pohon ini dikenal sangat bares. Reporter : Andiawan

Dengan kondisi tersebut, tak pelak tempat ini sering didatangi paranormal, dukun, hingga para pejabat. Apa yang membuat mereka tertarik datang ke tempat ini? Inilah hasil penelusuran wartawan TBA tentang keangkeran pohon bunut bersama pemangku pura setempat.

Bali terkenal dengan berbagai sebutan, dan memiliki getaran magis cukup tinggi. Hampir setiap hari tak luput dari ritual. Karenanya, setiap jengkal tanah menyimpan getaran gaib yang sangat kuat. Keyakinan masyarakat Hindu Bali terhadap kekuatan gaib sangat kuat. Bahkan, benda-benda tertentu seperti batu, pohon kayu, dan lainnya diyakini ada kekuatan gaib yang menunggunya. Di tempat-tempat itu pula masyarakat sering memohon sesuatu anugerah, baik keselamatan, rejeki, kelancaran usaha, dan permohonan lainnya.

Demikian halnya pohon bunut di Dusun Gesing I, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng, diyakini menyimpan kekuatan gaib penuh dengan berbagai misteri yang sulit dicerna akal sehat. Karena dari tempat ini sering muncul berbagai kegaiban dan keajaiban.

Pohon ini dikenal sebagai pohon tertua dan terbesar di Bali. Pohon ini sangat disakralkan dan tak satu pun yang berani mengusik keberadaannya. Konon, saat penyingkiran pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang.

Penguasanya terkenal bares (murah hati). Banyak krama yang dengan tulus dan keyakinan tinggi, dikabulkan permohonannya. Tak heran, setiap piodalan banyak yang membayar kaul sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah diterimanya. Pohon ini mampu menampung hingga ratusan orang.

Seperti diungkapkan Jro Mangku Wayan Weda, pemangku Pura Pecalang, keberadaan pohon bunut tersebut usianya diperkirakan mencapai 3 abad lebih. Konon, pada waktu jumlah penduduk Desa Gesing masih sedikit, dan setiap para penglingsirnya akan pergi ke hutan untuk berbagai tujuan, terlebih dahulu selalu ngaturang bakti di tempat ini, nunas keselamatan agar terhindar dari serangan binatang buas.

“Kocap, dumun pada saat itu banyak terdapat binatang buas, seperti babi hutan, macan, dan binatang buas lainnya. Agar terhindar dari serangan binatang buas itu, penglingsir, selalu ngaturang bakti di palinggih yang kini diberi nama Pura Pecalang tersebut,” ujar Jro Mangku menjelaskan.

Pria kelahiran tahun 1930 ini lebih lanjut mengatakan, kebiasaan ngaturang bakti di palinggih itu telah berjalan secara turun-temurun. Namun, dalam waktu sekian lama tidak ada yang memperhatikan kondisi palinggih tersebut, selama berabad-abad tetap berupa palinggih dengan kondisi sangat sederhana.

Seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai sadar dan tergugah untuk merenovasi palinggih yang ada dengan palinggih yang lebih bagus. Kemudian para manggala desa membentuk panitia pembangunan dan berdirilah pura tersebut. Sesuai fungsinya sebagai tempat memohon perlindungan, kemudian palinggih tersebut diberi nama Pura Pecalang dan disungsung semua masyarakat Desa Gesing. Piodalannya jatuh setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Anggarakasih Prangbakat.

Di areal Pura Pecalang juga terdapat sebuah Padmasana yang disebut Pura Perjuangan. Pura ini dijaga dua ekor macan yang diwujudkan dengan dua buah patung macan yang cukup menyeramkan.

Untuk mencapai lokasi sangatlah mudah, karena di sepanjang perjalanan telah terpasang papan petunjuk menuju Desa Gesing. Apabila krama datang dari Denpasar, sesampainya di pertigaan Desa Wanagiri, krama mengambil arah ke kiri menuju ke Desa Banyuatis.

Sepanjang perjalanan, krama dapat menyaksikan indahnya panorama alam serta dapat menghirup udara segar dan sejuk. Ketika memasuki Desa Munduk, pamedek dapat melihat hamparan kebun cengkeh serta indahnya pemandangan kota dan laut Singaraja.

Tetapi sebelumnya, krama perlu mempersiapkan kondisi badan maupun kondisi kendaraannya. Karena selama perjalanan akan melewati tanjakan dan turunan disertai tikungan yang cukup tajam. Begitu memasuki Desa Gesing, krama perlu ekstra hati-hati. Pasalnya, kondisi jalannya sedikit rusak, dengan tanjakan cukup tajam. Sedikit saja lengah, bisa terperosok dan menjadi santapan jurang.

Sebelum datang ke lokasi, sebaiknya krama menghubungi pemangku pura setempat yang tinggal tak jauh dari lokasi pura. Hal tersebut selain demi keselamatan juga untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan pura dan pohon bunut tersebut. Sesuai namanya, pohon bunut ini berbentuk piramid. Akarnya yang begitu besar dan kuat mencengkram tanah, membuat pohon ini tumbuh subur hingga mencapai ketinggian ratusan meter.

Dilarang Masuk Sembarangan

Guna mengetahui secara langsung situasi di dalam pohon tersebut, kemudin ayah satu orang putra ini mengajak wartawan TBA masuk ke dalam pohon bunut melewati pintu khusus yang cukup sempit. Namun, sebelumnya tak lupa memohon izin kepada penguasa pohon tersebut dengan melakukan persembahyangan di Pura Pecalang. Sesampainya di dalam, kami merasakan getaran gaib cukup kuat seakan gerak dan langkah kami selalu diawasi, sehingga sempat membuat bulu kuduk merinding.

Sesuai pengamatan TBA, tempat ini kondisinya cukup menyeramkan serta menyimpan getaran gaib sangat kuat. Sehingga bagi mereka yang senang meditasi, kurang lengkap rasanya jika belum pernah datang mencoba dan mengetahui secara langsung kondisi tempat ini serta merasakan sejauh mana kekuatan getaran gaibnya.

Konon, saat melawan penjajah tempat ini sering digunakan para pejuang sebagai tempat persembunyian. Pengamatan TBA, memang tempat ini sangat strategis sebagai tempat persembunyian. Pasalnya, selain orang yang bersembunyi di dalam pohon ini tidak kelihatan dari luar, juga pohon ini mampu menampung hingga tiga ratus orang lebih.

“Tiang sarankan kepada krama yang ingin masuk ke dalam pohon ini, agar sebelumnya tak lupa ngaturang bakti dan rarapan untuk memohon izin. Sehingga tidak diganggu makhluk gaib penjaga pohon ini.,” tegas pria berjenggot lebat dan telah memutih ini.

Keangkeran dan kekuatan gaib tempat ini sudah tersohor hingga ke Mancanegara. Karena tempat ini sering kali didatangi tamu asing dari berbagai Negara terutama mereka yang bergelut di bidang spiritual.

“Dumun ada tiga orang tamu asing, masuk dan mungkin tanpa permisi, ketiganya terjebak di dalam, bisa masuk tetapi tidak tahu jalan keluar. Setelah tamu itu berteriak, salah satu warga mencari tiang. Kemudian tiang memohon agar ketiga tamu itu dimaafkan dan diberi jalan untuk keluar dari tempat tersebut,” ungkap Jro Mangku yang dikenal mahir bela diri ini dengan nada datar.

Yang datang ke tempat ini tidak saja masyarakat Desa Gesing, melainkan banyak krama luar dari berbagai daerah, profesi dan status ekonomi yang berbeda serta dengan tujuan tertentu. Terutama saat Pilkada, banyak calon-calon kandidat datang ke tempat ini, berharap bisa terpilih. Bagi mereka ayang memohon di tempat ini dan apabila Ida Bhatara mengijinkan, maka berhasil atau tidaknya akan langsung mendapat jawaban lewat Jro Mangku.

Banyak dari mereka yang terkabul permohonannya serta mereka biasanya nawur sesangi (membayar kaul-red) saat piodalan berupa kain, tedung, hingga babi guling.

Kajeng Kliwon

Terdengar Suara Naga Misterius

Sementara, Ketut Lina salah satu warga yang sempat dimintai keterangan mengatakan, pohon bunut ini sering didatangi paranormal dari berbgai daerah di Bali bahkan luar Bali. Sebagian besar dari mereka meyakini tempat ini dijaga berbagai makhluk gaib.

Menurut pengakuan beberapa paranormal yang pernah bersemadi di sini mengungkapkan, di sekitar pohon ini banyak terdapat benda-benda gaib berkualitas tinggi. Karenanya, pohon ini dijaga ketat makhluk gaib dari berbagai arah.

Di bagian bawah pohon, dijaga makhluk kecil tidak memakai baju dan jumlahnya ratusan. Di bagian tengah dijaga makhluk tinggi besar dan seekor naga, sedangkan di bagian atas dijaga makhluk gaib berupa burung raksasa sangat menyeramkan.

Lebih lanjut pria kelahiran tahun 1949 ini mengungkapkan, salah satu ancangan berupa naga niskala sering mengeluarkan suara gaib, terutama pada hari-hari rerahinan tertentu, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan hari rerahinan lainnya.

Namun, tak semua mampu mendengar suara gaib itu. Melainkan, hanya orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan di bidang itu yang mampu medengar suara dan melihat makhluk gaib penghuni pohon yang dikenal sangat angker itu. Ada sebuah keunikan di tempat ini, di mana ranting akar yang telah tua akan dengan sendirinya putus dan potongannya menyerupai seekor ular.
“Dulu, pernah salah satu warga naik memasang pindekan (baling-baling dari kayu) dan menggunakan bambu bekas, tiba-tiba terdengar suara menggelegar sangat keras, seperti petir sedang menyambar pohon. Tak hayal pindekan itu hancur berkeping-keping,” ungkap ayah dua orang putra ini serius.

Sumber : http://baliaga-niskala.blogspot.com/

Potensi Pariwisata Tersembunyi Gangsing di Desa Gesing, Buleleng, Bali


Permainan gangsing ternyata juga ada aturan mainnya. Setiap pertandingan gangsing juga diikat oleh aturan baik itu jumlah pemain maupun durasi. Boleh dikata, aturan permainan gangsing sangat ketat.

KETIKA tiba di arena, pertandingan antara dua sekaa gangsing sedang berlangsung seru. Yakni salah satu sekaa tuan rumah Desa Gesing versus Desa Gobleg. Masing-masing sekaa menurunkan empat pemain andalannya pada partai bergengsi itu.

Dikatakan bergengsi karena sekaa tuan rumah itu merupakan tim andalan Desa Gesing, begitu pula lawannya pun tim kacangan yang mudah dikalahkan. Ini bisa dibuktikan di akhir pertandingan yang berlangsung selama dua jam. Dua tim yang bertarung di hadapan sekitar dua ratusan lebih penonton dari Desa Gesing dan sekitarnya termasuk sekitar tiga puluhan turis mancanegara itu berakhir seri alias tidak ada pemenang.

Durasi dua jam sendiri dilihat dari lamanya putaran gangsing besar. “Karena setiap gangsing yang ukurannya besar 60 cm itu berputarnya sampai 15 menit bahkan ada yang sampai 20 menit,” papar Gede Koman, penggemar berat gangsing itu soal penentuan lamanya pertandingan.

Selama waktu dua jam itu kedua tim memainkan sepuluh pertandingan. Setiap pertandingan menurunkan empat pemain dari masing-masing tim. Permainannya adalah gangsing lawan dilepas di tengah arena yang sudah dibatasi dengan garis. Kemudian pemain musuh turun ke arena melemparkan gangsingnya ke gangsing lawan. Untuk menentukan pemenangnya adalah gangsing yang lebih lama berputarlah yang keluar sebagai pemenang.

Bagaimana menentukan pemenang dalam satu partai? Menurut Prebekel Gesing Nyoman Sanjaya bahwa sebuah tim menjadi pemenang dalam pertandingan gangsing cukup susah. Karena untuk jadi pemenang, sebuah tim harus memenangkan seluruh sepuluh pertandingan yang dimainkan dalan satu partai. “Kalau hanya menang sembilan kali atau kurang dari itu, maka tidak ada pemenang dalam partai itu,” papar Sanjaya dibenarkan Gede Koman.

Yang menarik, gangsing ini seperti tinju yang petinjunya wajib ditimbang untuk mengetahui kelasnya. Sebelum sebuah partai dimainkan maka buah gangsing yang hendak dipakai wajib pula ditimbang untuk mengetahui kelasnya.

Yakni ada gangsing yang ukurannya 125 cm, kemudian ukuran medium 74 cm dan ukuran normal 60 cm. Namun yang lazim atau ukuran yang paling banyak dipakai dalam pertandingan gangsing dalam satu dekade terakhir ini adalah gangsing yang berukuran 60 cm.

Nah, arena pertandingan gangsing sesungguhnya tidak terlalu istimewa. Model arenanya sama dengan balai banjar atau arena tajen. Hanya saja lantainya harus ditaburi tanah agar cara berputar gangsing terlihat lebih indah. Arena itu dibagi menjadi empat bagian dengan kapur putih.

Menariknya, di sela-sela pertantingan gangsing, ternyata ada sebuah atraksi gangsing individu yang mengundang aplaus dari penonton yang hadir. Atraksi itu dipertontonkan AKP Nyoman Kartika, SH, Kapolsektif Gerokgak, yang berasal dari Desa Gesing. Perwira berkumis itu mempertontonkan kepiawaiannya dalam memainkan gangsing. Diawali dengan melempar gangsing ke arena. Setelah berputar dengan indahnya, sang polisi itu beraksi dengan menyodorkan telapak tangannya ke bagian bawah gangsing. Dan gangsing itu pun naik berputar di atas telapak tangannya. Kemudian ia mengangkat gangsing yang sedang berputar di atas telapak tangannya keliling dengan bebebrapa aksi goyangnya.

Aksi sang Kapolsek pun sempat membuat penonton riuh memberikan aplaus. “Wahhh, bapak itu hebat,” komentar para penonton yang menyaksikan aksis “nakal” Kartika.

Prebekel Gesing Sanjaya berharap, pemerintah terutama Disbudpar dan PHRI memperhatikan seni budaya leluhur yang masih dipertahankan di Gesing itu. Karena permainan gangsing itu sudah menjadi tontonan menarik turis mancanegara.

“Kami minta paling tidak jalan ke desa ini bisa diperbaiki sehingga tamu asing yang sering datang ke sini nonton gangsing tidak kecewa,” papar Prebekel Sanjaya.

sumber JPNN

Budaya, Waris Adat GESING - Banjar - Bali


Akibat hukum bagi wanita Mulih Daha menurut hukum waris adat Bali ( Studi di Desa Gesing Kec. Banjar Kab. Buleleng ) Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 terdapat tiga penyebab putusnya perkawinan yaitu : karena salah satu putusnya perkawinan yaitu : karena salah satu pasangan telah meninggal dunia, karena putusan pengadilan dan terakhir karena perceraian. Diantara ketiga faktor tersebut hanya perceraian yang dapat menjadikan dasar adanya mulih daha. Secara harfiah mulih daha mengandung dua kata yaitu : mulih yang berarti kembali pulang dan daha berarti gadis. Namun kata daha sendiri dapat diartikan. Mengembalikan kedudukan seorang wanita yang sudah pernah kawin menjadi wanita yang belum pernah melaksanakan perkawinan atau kembali gadis, namun hal ini tidak dapat diartikan biologis. Kedudukan mulih daha tidaklah merupakan hak melekat pada seorang janda, sehingga secara otomatis memperoleh kedudukan sebagai seorang gadis (daha) Mulih daha hauls dilakukan dengan persetujuan dari keluarga termasuk ikatan keluarga besarnya. Disamping itu keluarga wanita mulih daha hams melakukan upacara penyambutan di tempat persembahyangan keluarga asalnya, yang bertujuan untuk menyatakan anak wanitanya telah kembali dalam lingkungan keluarganya dan disaksikan oleh pejabat perangkat desa adat. Selanjutnya janda mulih daha mempunyai kedudukan sama seperti saudara-saudara lainnya. Metodologi penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan bersifat diskriptif analistis dimana menggambarkan dan mengungkapkan sistem hukum adat setempat. Penulisan ini didasarkan atas basil wawancara dengan tokoh¬tokoh masyarakat dan beberapa janda mulih daha. Didaerah bali khususnya di desa adat Gesing Kabupaten Buleleng. Hasil dari penelitian ini masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka hal utama adalah keturunan laki-laki sebagai ahli waris, sehingga perempuan atau janda mulih daha bukanlah ahli waris mutlak namun hanya boleh menikmati laba atau bagian harta warisan orangtuanya. Sedangkan anak yang dilahirkan wanita mulih daha jika lahir perempuan secara otomatis ikut ibunya namun jika laki-laki sudah pasti ikut bapaknya kecuali ada perjanjian sebelum perkawinannya.

Legal Consequences To Woman of Mulih Daha according to Hereditary Law Bali (Study In Custom Village of Gesing District Of Banjar, Regency of Buleleng). According to Law Number 1 1974th, there are three broken cause of marriage him that is : because one of the breaking of marriage that is : because one of the couple have passed away, because justice decision and last because divorce. Among third the factor only divorce of which can make base is existence of mulih daha. Beside that woman family of mulih daha have to do expectation ceremony in place pray him family, with aim to express its woman child have returned in its family environment and witnessed by functionary of peripheral of custom countryside. Hereinafter widow of mulih daha have to domicile the [is] same as other brothers and sisters. literally pregnant mulih daha two word that is : mulih meaning to return home and daha mean girl. But word of daha alone can be interpreted, returning to domicile a woman which have married to become woman which have never executed marriage or return girl, but this matter cannot be interpreted biological Domiciling mulih daha is not represent coherent rights at a widow, so that automatically obtain to domicile as a girl (daha). Mulih Daha must be done in the affirmative from family of including family relationship of level. Beside that woman family of mulih daha have to do expectation ceremony in place pray him family, with aim to express its woman child have returned in its family environment and witnessed by functionary of peripheral of custom village. Hereinafter widow of mulih daha have to domicile the is same as other brothers and sisters. The writing methodologies use method of juridical empirical and have the character of descriptively of analysis where depicting and laying open local customary law system. This writing is based to the result of interview with elite figures and some widow of mulih daha. In Bali area specially in custom village of Gesing Regency of Buleleng. Result of from this research of Bali society embrace consanguinity system of patrilineal, hence especial matter is clan of men as heir, so that widow or woman of mulih daha is not absolute heir but shall only enjoy its old fellow heritage shares or profit. While borne by child is woman of mulih daha if delivering birth woman automatically follow its mother but if men beyond question follow its father except there is agreement before its marriage.