OM SWASTYASTU

PRATI SENTANA SANAK SAPTA RSI PASEK GELGEL
YEH SONG-GESING

A NAMO BHADRAH KRATAVO YANTU VISVATO ADABDHASO APARISATA UDBHIDAH, DEVA NO YATHA SADAMID VRDHE ASAN APRAYUVO RAKSITARO DIVE, DIVE



Minggu, 26 Juni 2011

SUGIHAN JAWA, SUGIHAN BALI

Kata Sugihan, berasal darikata SUGIH. Dalam bahasa Bali, sugih itu artinya kaya. Bila dimaknai secara harfiah SUGIHAN itu berarti saatnya memperkaya diri, kaya dalam pengertian spiritual atau memperluas wawasan, cakrawala keyakinan diri.

Sugih juga bisa berarti pensucian, pembersihan atau peleburan. Semua yang didapatkan, apa yang diperoleh dari alam, sudah saatnya untuk dibersihkan, disucikan dan disatukan menjadi bekal utama dalam menjalankan perayaan Galungan, sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma.

Dalam beberapa periode perkembangan budaya ada kesalahan persepsi terhadap arti sugihan Jawa dan Bali itu, dalam konsep perbedaan geografis dan strata sosial. Salah kaprah itu masih terngiang, dimana sugihan Jawa, dianggap dirayakan oleh orang luar Bali, orang-orang biasa yang bukan keturunan bangsawan. Sedangkan sugihan Bali, hanya dirayakan oleh orang Bali asli, dari keturunan kasta para bangsawan.

Seiring perkembangan pemahaman filsafat agama berdasarkan sumber kitab suci Veda, makna sugihan tersebut kemudian diluruskan artinya. Istilah Jawa itu identik dengan jaba, artinya diluar, sedangkan Bali identik dengan wali, artinya kembali, kedalam diri. Jadi sugihan Jawa, berari pensucian diluar diri, pembersihan terhadap lingkungan, alam makrokosmos (bhuana agung). Sementara, Sugihan Bali, berarti pensucian kedalam diri sendiri, pembersihan terhadap alam mikrokosmos (bhuana alit).

Selasa, 14 Juni 2011

TUMPEK WARIGA atau UDUH

Tumpek bubuh / tumpek wariga juga disebut tumpek pengatag merupakan turunnya Hyang Ciwa untuk memelihara keharmonisan kehidupan di dunia. Perayaan tumpek wariga ini 25 hari menjelang Hari raya Galungan bertujuan agar pohon / tumbuh tumbuhan yang ada disekeliling kita diharapkan dapat memenuhi kebutuhan umatnya. Seperti tumbuh tumbuhan, daun daunan dan bunga bungaan .

Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.

Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.

Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak semata Bali. visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon.

Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi. Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.

Karenanya, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Bahkan, Bali tak perlu lagi dibuatkan tradisi baru: Hari atau Bulan Menanam Pohon.

TUMPEK WARIGA or UDUH

Tumpek Uduh also known as Tumpek Wariga or Tumpek Pengatag devoted to Sanghyang Sangkara, Lord of all food - plants when blessing ceremony is given to them for good crops and products, held at every plantation and farm throughout the island.

Nothing is more comfortable and peaceful than taking a rest under a dense tree especially in a hot sun-shining day. Some desert-caravans might be enthusiastically thankful if some dense tress grew along the way in the desert. Trees or plants are the breath of earth, and people should be grateful of their oxygen, fruits, leaves, food and their cool breeze. They are friends and food source of ours. Their life is our survival.They deserve to gain our attention, and should be right by our side in the sense of harmony. Ritually, Balinese have a special ceremony to beg any prosperity for vegetations so they can always provide their crops for mankind. A ceremony to say gratitude to Ida Sang Hyang Widhi Wasa (God) for His honor in providing food source in the form of vegetation.Such ceremony will be held on October 26th.

Tumpek Wariga is a ritual ceremony dedicated to the vegetations. It’s also known as Tumpek Pengarah or Tumpek Uduh or Tumpek Bubuh. It’s called as Tumpek Pengarah since it’s a day to give instruction/suggestion for the vegetation to provide a lot of food (fruits, leaves, etc). It enables the Balinese to make any preparation to hail Galungan Day that will come in a few weeks ahead. Pengarah means instruction. It comes once in every six months or every 210 days, suggesting the Balinese to worship God Sangkara the God of Vegetation. It’s a right time to beg the God to give His grace so the vegetation can provide a lot of crops.

Tumpek Bubuh is also its name since there is bubuh included in the offerings that’s dedicated to God Sangkara, the God of vegetation. Bubuh means porridge made from rice flour. In committing the ceremony, the bubuh is smeared on the tree bark as a symbol of fertilizers (the proper food for vegetation).

In Pangider-ider Bhuana (eight direction), Balinese worship the honor of God Sangkara at the SouthWest with His sacred color is green symbolizing the fertility. God Sangkara is also worshipped as Dewan Pa-nunggun Karang, the god who protects Balinese in houses. He will turn out into Sang Hyang Kala who will disturb the owner of house if the owner ignores His existence. Such character is quite similar to the characteristic of vegetation. Any effort of people to dam

age or to ignore the conservation of vegetation is only a kind of suicide. On the other hand, prosperity and comfort will come around whenever the vegetation is protected and conserved.

Concerning the deep meaning hidden behind this ceremony, Tumpek Wariga contains external and internal meaning for the Balinese. Wariga is the name of seventh wuku in Balinese calendar. Besides, it’s also a term to determine the appropriate or inappropriate day to have a ceremony or activity in Hinduism.

Ida Pandita Mpu Nabe Yoga Maha Bhirudhaksa said that Tumpek Wariga is a good day to beg any patronage for the sake of vegetation or plantation. It’s really forbidden to cut the trees or gathering any crop from the vegetation.

Vegetations that usually become the objects of consecration in this ceremony are coconut trees, durian trees, rambutan, etc. The offering consists of tumpeng agung, sesayut, pengambeyan, peras penyeneng, dapetan, porridge, pangresikan, sasap, candiga,gantung-gantungan, segehan cacahan putih, segehan panca warna (offering in five kind of color) and tetabuhan.

The process of ceremony firstly begins by installing sasap and candiga on the tree trunks, which previously covered in a white band. Beneath the trees there is a asapan(a kind of shrine) to place the offerings. "All of the offerings are placed on the asapan except segehan. It’s placed on the ground cause it’s dedicated to Bhutas (invisible creatures)," says Pandita Mpu (Holy Priest) of Griya Asitasari, Banjar Lebah Pangkung, Mengwi-Badung. As the preparation is done, the offerings then are ritually offered to the honor of God Sangkara by firstly sprinkling the holy water, continued by pangresikan (sanctification), panyeneng and sesajen. Finally, the ceremony is lasted by offering the segehan, and smearing the porridge to tree trunks while saying such as follows: "Kaki kaki, tiang mapengarah, malih 25 dina Galungan, mabuah apang nged nged nged". (Provide us a lot of crop cause Galungan is coming within 25 days). balidwipa.com

Rabu, 01 Juni 2011

OTONAN, PERAYAAN HARI LAHIR YANG SEBENARNYA

OTONAN,
BUDAYA LUHUR PERINGATAN HARI LAHIR BAGI UMAT HINDU

Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang “Bali”. Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).

Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.

Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol­-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.

Sebagai contoh : Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa : “Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi” (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).

Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.

2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.

Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.

Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: “Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu “bencah” (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).

Dari doa tersebut dapat dilihat makna:

1. “Ngilehang sampan ngilehang perahu” bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita.

2. “Batu makocok” adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.

3. “Tungked bungbungan” (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. “Perahu hidup ini” jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai memper­gunakan tongkat (usia tua).

4. “Teked dipasisi napetang perahu bencah” (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak.

Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra­-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.

Arti Ini upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
Sarana
Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara.
Upakara yang lebih besar Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua.
Tata cara
1 Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2 Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3 Penghormatan terhadap leluhur.
4 Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5 Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.
Mantram-mantramnya
Mantram untuk gunting: Artinya :
Om yatawya sakai panem sudi kesuma anindih papa klesa winasasyat. Bhangkara mantram utaman. Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pencipta, hamba mohon agar gunting ini suci sanggup melebur mala petaka.
Mantram cincin Artinya :
Om ong tejo sakalpanem sud katri maha sidhi papa kiesa winasasyat. Tatkara mantram utaman. Om Hyang Widhi Wasa dalam wujud aksara maha suci yang merupakan mantram utama sebagai anugrah-Mu semoga lebur segala dosa.
Mantram Panca Kusika Artinya :
Om kusa srikusa widnyanem pawitrem, papanasanem papa klesa winasasyat Mangkara mantram utama. Om Hyang Widhi Wasa dalam wujud aksara suci Mangkara, semoga melimpahkan kebahagiaan, pengetahuan suci dan melebur segala dosa.
Mantram menggunting rambut :
Depan : Artinya :
Om Sang sadya ya namah, hilanganing papa klesa pataka. Om Hyang Widhi Wasa, semoga musnah segala dosa dan kesengsaraan anak ini.
Kanan: Artinya:
Om Bhang Bama Dewa ya namah, hilanganing tara roga wighena. Om Hyang Widhi Wasa, semoga musnah segala penyakit anak ini.
Kiri: Artinya:
Om Ang Agora ya namah, hilanganing gring sasab merana. Om Hyang Widhi Wasa, semoga hilang wabah yang akan menimpa anak kami.
Belakang: Artinya :
Om Tang tat purusa ya namah, hilanganing gegodan satru musuh. Om Hyang Widhi Wasa, semoga anak kami terhindar dari godaan musuh.
Di tengah: Artinya :
Om Ing Isana ya namah, hilanganing sebel kandel sang pinetik. Om Sang Hyang Widhi Wasa, semoga hilang segala noda anak ini.

Otonan, Balinese Birthday Celebration


Month by month has gone by and another year is coming. Time is so significant to humans when he performs action and writes down his story of life. When having arrived at certain point, he may need a short break for an introspection and commemoration of a beautiful moment in his lifetime. Yes, it’s commonly known as birthday, an annual celebration of the day on which one was born.

Etymologically, there may have been a common ‘misperception’ here where birthday in the Gregorian calendar should be celebrated on the same day as the word suggests and not the same date (should be birth date). On the contrary, otonan in the Balinese (Hindu) tradition is similar thing but of different context. This one is celebrated every 210 days on the same day based on Javano-Balinese wuku year. So, it can be said a real birthday. For example if one was born on Wednesday (day) Kliwon (five-day week) Dungulan (one of thirty wukus), he will celebrate his otonan on the same day as above.

Another difference between the two is the dating system, particularly on the starting point of new date. If the Gregorian starts at 00:01, the wuku at the sunrise. Sometimes, there is also misunderstanding among some Balinese to determine the day of a baby that was born at dawn. Let’s say on Wednesday Kliwon Dungulan at 04:00.

Based on Gregorian calendar, the day and date have belonged to the next (Thursday) and will become its ‘birth date’ later. However, its otonan should not follow this calendar system, but as the baby was born at 04:00, it should belong to Wednesday (Buda) based on the wuku system. This misdating may often inflict mistakes in determining his otonan day and its character does not accord with the Hindu astrology. This then needs something like ritual adjustment in Hindu belief to the appropriate day through an exorcism rite as mentioned in palm-leaf manuscript that commonly used as reference like Wrehaspati Kalpa.

Otonan (birthday) in Balinese tradition is actually a private and comprehensive ritual that only celebrated by the family internally. By certain kinds of oblation, the ritual is intended for one’s inner and outer self along with his kanda empat or four companions that are believed to accompany him since birth to the end of lifetime and even the period after death.

They are expressed in personification as amniotic fluid, vernix cascosa, the afterbirth and the blood. In Hindu belief, the names of the four companions will change in keeping with the increasing age of the human self and so are the places where they indwell. The four will loyally keep the self in this world. If ‘spiritual’ communication and empowerment run well among the five, one will never feel fearful wherever he goes and can do healing. As loyal and eternal companions, too, they will accompany the self around the clock. By doing this, they will know every single deed of the self during its interaction with corporeal body. After death, on facing the court of Yama, no facts can be hidden or no lies can be told, as the four companions will deliver the true witness.

In essence, otonan(birthday) is an immensely important celebration for the Hindus. It constitutes right moment to reorganize, encourage the relationship of human self with the four integrated companions as the otonan contains two dimensional aspects, both sekala (visible) and niskala (invisible). By this, it is also expected to promote harmony between the body with soul and finally reach eternal bliss here and after.