|
OM SWASTYASTU
YEH SONG-GESING
A NAMO BHADRAH KRATAVO YANTU VISVATO ADABDHASO APARISATA UDBHIDAH, DEVA NO YATHA SADAMID VRDHE ASAN APRAYUVO RAKSITARO DIVE, DIVE
Selasa, 23 November 2010
PEDOMAN SEMBAHYANG
ASTA KOSALA dan ASTA BUMI
| ||||||||||||||||||
|
Kamis, 11 November 2010
Tradisi Unik Nyakan Ring Margi Serangkaian Perayaan Tahun Baru Caka Nyepi di DESA GESING, Buleleng, Bali
Tradisi unik itu dinamakan nyakan ring margi/diwang. Tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu berupa menanak nasi di luar rumah tepatnya di pinggir-pinggir jalan di Desa Gesing. Kegiatan ini sesungguhnya salah satu tradisi unik turun temurun yang ada di Bali. Hanya saja hal ini, nyakan ring margi /diwang ini kurang dikenal krama Desa Gesing. Pelaksanaannya itu atas dasar kesadaran krama setempat. Tanpa ada ancaman sanksi atau hukuman adat dari desa bagi yang tidak melaksanakan. Tetapi krama merasa ada beban secara niskala bila tidak ikut melaksanakan kegiatan itu. Begitu pula tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan bagi yang tidak melaksanakan. Tapi karena ini merupakan tradisi yang ditinggalkan para leluhur secara turun temurun maka krama kami memiliki kewajiban moral dan niskala untuk melaksanakan. http://id.wikipedia.org/wiki/Nyepi
Rabu, 10 November 2010
Upacara Ngaben Keluarga Besar "SANAK SAPTA RSI PASEK GELGEL DESA GESING"
Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.
Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Didalam perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.
Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai.
tujuannya
tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi kea lam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bisa ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun.
dalam waktu setahun sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem (dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan, sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini.
mengapa cuma 1 tahun??
Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan di tempatkan di Neraka
Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :
1.Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia.
2.Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia.
3.karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala.
4.Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya.
5.Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua manusia.
Misteri Bunut Ngengkeng di Desa Gesing Buleleng
Bunut Ngengkeng itulah nama sebuah pohon yang berdiri kokoh di sekitar Pura Pecalang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng. Pohon bunut ini diklaim sebagai pohon terbesar dan tertua di Bali yang menyimpan berbagai kegaiban serta keajaiban. Pun, selain sangat angker, penguasa pohon ini dikenal sangat bares. Reporter : Andiawan
Dengan kondisi tersebut, tak pelak tempat ini sering didatangi paranormal, dukun, hingga para pejabat. Apa yang membuat mereka tertarik datang ke tempat ini? Inilah hasil penelusuran wartawan TBA tentang keangkeran pohon bunut bersama pemangku pura setempat.
Bali terkenal dengan berbagai sebutan, dan memiliki getaran magis cukup tinggi. Hampir setiap hari tak luput dari ritual. Karenanya, setiap jengkal tanah menyimpan getaran gaib yang sangat kuat. Keyakinan masyarakat Hindu Bali terhadap kekuatan gaib sangat kuat. Bahkan, benda-benda tertentu seperti batu, pohon kayu, dan lainnya diyakini ada kekuatan gaib yang menunggunya. Di tempat-tempat itu pula masyarakat sering memohon sesuatu anugerah, baik keselamatan, rejeki, kelancaran usaha, dan permohonan lainnya.
Demikian halnya pohon bunut di Dusun Gesing I, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng, diyakini menyimpan kekuatan gaib penuh dengan berbagai misteri yang sulit dicerna akal sehat. Karena dari tempat ini sering muncul berbagai kegaiban dan keajaiban.
Pohon ini dikenal sebagai pohon tertua dan terbesar di Bali. Pohon ini sangat disakralkan dan tak satu pun yang berani mengusik keberadaannya. Konon, saat penyingkiran pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang.
Penguasanya terkenal bares (murah hati). Banyak krama yang dengan tulus dan keyakinan tinggi, dikabulkan permohonannya. Tak heran, setiap piodalan banyak yang membayar kaul sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah diterimanya. Pohon ini mampu menampung hingga ratusan orang.
Seperti diungkapkan Jro Mangku Wayan Weda, pemangku Pura Pecalang, keberadaan pohon bunut tersebut usianya diperkirakan mencapai 3 abad lebih. Konon, pada waktu jumlah penduduk Desa Gesing masih sedikit, dan setiap para penglingsirnya akan pergi ke hutan untuk berbagai tujuan, terlebih dahulu selalu ngaturang bakti di tempat ini, nunas keselamatan agar terhindar dari serangan binatang buas.
“Kocap, dumun pada saat itu banyak terdapat binatang buas, seperti babi hutan, macan, dan binatang buas lainnya. Agar terhindar dari serangan binatang buas itu, penglingsir, selalu ngaturang bakti di palinggih yang kini diberi nama Pura Pecalang tersebut,” ujar Jro Mangku menjelaskan.
Pria kelahiran tahun 1930 ini lebih lanjut mengatakan, kebiasaan ngaturang bakti di palinggih itu telah berjalan secara turun-temurun. Namun, dalam waktu sekian lama tidak ada yang memperhatikan kondisi palinggih tersebut, selama berabad-abad tetap berupa palinggih dengan kondisi sangat sederhana.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai sadar dan tergugah untuk merenovasi palinggih yang ada dengan palinggih yang lebih bagus. Kemudian para manggala desa membentuk panitia pembangunan dan berdirilah pura tersebut. Sesuai fungsinya sebagai tempat memohon perlindungan, kemudian palinggih tersebut diberi nama Pura Pecalang dan disungsung semua masyarakat Desa Gesing. Piodalannya jatuh setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Anggarakasih Prangbakat.
Di areal Pura Pecalang juga terdapat sebuah Padmasana yang disebut Pura Perjuangan. Pura ini dijaga dua ekor macan yang diwujudkan dengan dua buah patung macan yang cukup menyeramkan.
Untuk mencapai lokasi sangatlah mudah, karena di sepanjang perjalanan telah terpasang papan petunjuk menuju Desa Gesing. Apabila krama datang dari Denpasar, sesampainya di pertigaan Desa Wanagiri, krama mengambil arah ke kiri menuju ke Desa Banyuatis.
Sepanjang perjalanan, krama dapat menyaksikan indahnya panorama alam serta dapat menghirup udara segar dan sejuk. Ketika memasuki Desa Munduk, pamedek dapat melihat hamparan kebun cengkeh serta indahnya pemandangan kota dan laut Singaraja.
Tetapi sebelumnya, krama perlu mempersiapkan kondisi badan maupun kondisi kendaraannya. Karena selama perjalanan akan melewati tanjakan dan turunan disertai tikungan yang cukup tajam. Begitu memasuki Desa Gesing, krama perlu ekstra hati-hati. Pasalnya, kondisi jalannya sedikit rusak, dengan tanjakan cukup tajam. Sedikit saja lengah, bisa terperosok dan menjadi santapan jurang.
Sebelum datang ke lokasi, sebaiknya krama menghubungi pemangku pura setempat yang tinggal tak jauh dari lokasi pura. Hal tersebut selain demi keselamatan juga untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan pura dan pohon bunut tersebut. Sesuai namanya, pohon bunut ini berbentuk piramid. Akarnya yang begitu besar dan kuat mencengkram tanah, membuat pohon ini tumbuh subur hingga mencapai ketinggian ratusan meter.
Dilarang Masuk Sembarangan
Guna mengetahui secara langsung situasi di dalam pohon tersebut, kemudin ayah satu orang putra ini mengajak wartawan TBA masuk ke dalam pohon bunut melewati pintu khusus yang cukup sempit. Namun, sebelumnya tak lupa memohon izin kepada penguasa pohon tersebut dengan melakukan persembahyangan di Pura Pecalang. Sesampainya di dalam, kami merasakan getaran gaib cukup kuat seakan gerak dan langkah kami selalu diawasi, sehingga sempat membuat bulu kuduk merinding.
Sesuai pengamatan TBA, tempat ini kondisinya cukup menyeramkan serta menyimpan getaran gaib sangat kuat. Sehingga bagi mereka yang senang meditasi, kurang lengkap rasanya jika belum pernah datang mencoba dan mengetahui secara langsung kondisi tempat ini serta merasakan sejauh mana kekuatan getaran gaibnya.
Konon, saat melawan penjajah tempat ini sering digunakan para pejuang sebagai tempat persembunyian. Pengamatan TBA, memang tempat ini sangat strategis sebagai tempat persembunyian. Pasalnya, selain orang yang bersembunyi di dalam pohon ini tidak kelihatan dari luar, juga pohon ini mampu menampung hingga tiga ratus orang lebih.
“Tiang sarankan kepada krama yang ingin masuk ke dalam pohon ini, agar sebelumnya tak lupa ngaturang bakti dan rarapan untuk memohon izin. Sehingga tidak diganggu makhluk gaib penjaga pohon ini.,” tegas pria berjenggot lebat dan telah memutih ini.
Keangkeran dan kekuatan gaib tempat ini sudah tersohor hingga ke Mancanegara. Karena tempat ini sering kali didatangi tamu asing dari berbagai Negara terutama mereka yang bergelut di bidang spiritual.
“Dumun ada tiga orang tamu asing, masuk dan mungkin tanpa permisi, ketiganya terjebak di dalam, bisa masuk tetapi tidak tahu jalan keluar. Setelah tamu itu berteriak, salah satu warga mencari tiang. Kemudian tiang memohon agar ketiga tamu itu dimaafkan dan diberi jalan untuk keluar dari tempat tersebut,” ungkap Jro Mangku yang dikenal mahir bela diri ini dengan nada datar.
Yang datang ke tempat ini tidak saja masyarakat Desa Gesing, melainkan banyak krama luar dari berbagai daerah, profesi dan status ekonomi yang berbeda serta dengan tujuan tertentu. Terutama saat Pilkada, banyak calon-calon kandidat datang ke tempat ini, berharap bisa terpilih. Bagi mereka ayang memohon di tempat ini dan apabila Ida Bhatara mengijinkan, maka berhasil atau tidaknya akan langsung mendapat jawaban lewat Jro Mangku.
Banyak dari mereka yang terkabul permohonannya serta mereka biasanya nawur sesangi (membayar kaul-red) saat piodalan berupa kain, tedung, hingga babi guling.
Kajeng Kliwon
Terdengar Suara Naga Misterius
Sementara, Ketut Lina salah satu warga yang sempat dimintai keterangan mengatakan, pohon bunut ini sering didatangi paranormal dari berbgai daerah di Bali bahkan luar Bali. Sebagian besar dari mereka meyakini tempat ini dijaga berbagai makhluk gaib.
Menurut pengakuan beberapa paranormal yang pernah bersemadi di sini mengungkapkan, di sekitar pohon ini banyak terdapat benda-benda gaib berkualitas tinggi. Karenanya, pohon ini dijaga ketat makhluk gaib dari berbagai arah.
Di bagian bawah pohon, dijaga makhluk kecil tidak memakai baju dan jumlahnya ratusan. Di bagian tengah dijaga makhluk tinggi besar dan seekor naga, sedangkan di bagian atas dijaga makhluk gaib berupa burung raksasa sangat menyeramkan.
Lebih lanjut pria kelahiran tahun 1949 ini mengungkapkan, salah satu ancangan berupa naga niskala sering mengeluarkan suara gaib, terutama pada hari-hari rerahinan tertentu, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan hari rerahinan lainnya.
Namun, tak semua mampu mendengar suara gaib itu. Melainkan, hanya orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan di bidang itu yang mampu medengar suara dan melihat makhluk gaib penghuni pohon yang dikenal sangat angker itu. Ada sebuah keunikan di tempat ini, di mana ranting akar yang telah tua akan dengan sendirinya putus dan potongannya menyerupai seekor ular.
“Dulu, pernah salah satu warga naik memasang pindekan (baling-baling dari kayu) dan menggunakan bambu bekas, tiba-tiba terdengar suara menggelegar sangat keras, seperti petir sedang menyambar pohon. Tak hayal pindekan itu hancur berkeping-keping,” ungkap ayah dua orang putra ini serius.
Sumber : http://baliaga-niskala.blogspot.com/
Potensi Pariwisata Tersembunyi Gangsing di Desa Gesing, Buleleng, Bali
Permainan gangsing ternyata juga ada aturan mainnya. Setiap pertandingan gangsing juga diikat oleh aturan baik itu jumlah pemain maupun durasi. Boleh dikata, aturan permainan gangsing sangat ketat.
KETIKA tiba di arena, pertandingan antara dua sekaa gangsing sedang berlangsung seru. Yakni salah satu sekaa tuan rumah Desa Gesing versus Desa Gobleg. Masing-masing sekaa menurunkan empat pemain andalannya pada partai bergengsi itu.
Dikatakan bergengsi karena sekaa tuan rumah itu merupakan tim andalan Desa Gesing, begitu pula lawannya pun tim kacangan yang mudah dikalahkan. Ini bisa dibuktikan di akhir pertandingan yang berlangsung selama dua jam. Dua tim yang bertarung di hadapan sekitar dua ratusan lebih penonton dari Desa Gesing dan sekitarnya termasuk sekitar tiga puluhan turis mancanegara itu berakhir seri alias tidak ada pemenang.
Durasi dua jam sendiri dilihat dari lamanya putaran gangsing besar. “Karena setiap gangsing yang ukurannya besar 60 cm itu berputarnya sampai 15 menit bahkan ada yang sampai 20 menit,” papar Gede Koman, penggemar berat gangsing itu soal penentuan lamanya pertandingan.
Selama waktu dua jam itu kedua tim memainkan sepuluh pertandingan. Setiap pertandingan menurunkan empat pemain dari masing-masing tim. Permainannya adalah gangsing lawan dilepas di tengah arena yang sudah dibatasi dengan garis. Kemudian pemain musuh turun ke arena melemparkan gangsingnya ke gangsing lawan. Untuk menentukan pemenangnya adalah gangsing yang lebih lama berputarlah yang keluar sebagai pemenang.
Bagaimana menentukan pemenang dalam satu partai? Menurut Prebekel Gesing Nyoman Sanjaya bahwa sebuah tim menjadi pemenang dalam pertandingan gangsing cukup susah. Karena untuk jadi pemenang, sebuah tim harus memenangkan seluruh sepuluh pertandingan yang dimainkan dalan satu partai. “Kalau hanya menang sembilan kali atau kurang dari itu, maka tidak ada pemenang dalam partai itu,” papar Sanjaya dibenarkan Gede Koman.
Yang menarik, gangsing ini seperti tinju yang petinjunya wajib ditimbang untuk mengetahui kelasnya. Sebelum sebuah partai dimainkan maka buah gangsing yang hendak dipakai wajib pula ditimbang untuk mengetahui kelasnya.
Yakni ada gangsing yang ukurannya 125 cm, kemudian ukuran medium 74 cm dan ukuran normal 60 cm. Namun yang lazim atau ukuran yang paling banyak dipakai dalam pertandingan gangsing dalam satu dekade terakhir ini adalah gangsing yang berukuran 60 cm.
Nah, arena pertandingan gangsing sesungguhnya tidak terlalu istimewa. Model arenanya sama dengan balai banjar atau arena tajen. Hanya saja lantainya harus ditaburi tanah agar cara berputar gangsing terlihat lebih indah. Arena itu dibagi menjadi empat bagian dengan kapur putih.
Menariknya, di sela-sela pertantingan gangsing, ternyata ada sebuah atraksi gangsing individu yang mengundang aplaus dari penonton yang hadir. Atraksi itu dipertontonkan AKP Nyoman Kartika, SH, Kapolsektif Gerokgak, yang berasal dari Desa Gesing. Perwira berkumis itu mempertontonkan kepiawaiannya dalam memainkan gangsing. Diawali dengan melempar gangsing ke arena. Setelah berputar dengan indahnya, sang polisi itu beraksi dengan menyodorkan telapak tangannya ke bagian bawah gangsing. Dan gangsing itu pun naik berputar di atas telapak tangannya. Kemudian ia mengangkat gangsing yang sedang berputar di atas telapak tangannya keliling dengan bebebrapa aksi goyangnya.
Aksi sang Kapolsek pun sempat membuat penonton riuh memberikan aplaus. “Wahhh, bapak itu hebat,” komentar para penonton yang menyaksikan aksis “nakal” Kartika.
Prebekel Gesing Sanjaya berharap, pemerintah terutama Disbudpar dan PHRI memperhatikan seni budaya leluhur yang masih dipertahankan di Gesing itu. Karena permainan gangsing itu sudah menjadi tontonan menarik turis mancanegara.
“Kami minta paling tidak jalan ke desa ini bisa diperbaiki sehingga tamu asing yang sering datang ke sini nonton gangsing tidak kecewa,” papar Prebekel Sanjaya.
sumber JPNN
Budaya, Waris Adat GESING - Banjar - Bali
Akibat hukum bagi wanita Mulih Daha menurut hukum waris adat Bali ( Studi di Desa Gesing Kec. Banjar Kab. Buleleng ) Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 terdapat tiga penyebab putusnya perkawinan yaitu : karena salah satu putusnya perkawinan yaitu : karena salah satu pasangan telah meninggal dunia, karena putusan pengadilan dan terakhir karena perceraian. Diantara ketiga faktor tersebut hanya perceraian yang dapat menjadikan dasar adanya mulih daha. Secara harfiah mulih daha mengandung dua kata yaitu : mulih yang berarti kembali pulang dan daha berarti gadis. Namun kata daha sendiri dapat diartikan. Mengembalikan kedudukan seorang wanita yang sudah pernah kawin menjadi wanita yang belum pernah melaksanakan perkawinan atau kembali gadis, namun hal ini tidak dapat diartikan biologis. Kedudukan mulih daha tidaklah merupakan hak melekat pada seorang janda, sehingga secara otomatis memperoleh kedudukan sebagai seorang gadis (daha) Mulih daha hauls dilakukan dengan persetujuan dari keluarga termasuk ikatan keluarga besarnya. Disamping itu keluarga wanita mulih daha hams melakukan upacara penyambutan di tempat persembahyangan keluarga asalnya, yang bertujuan untuk menyatakan anak wanitanya telah kembali dalam lingkungan keluarganya dan disaksikan oleh pejabat perangkat desa adat. Selanjutnya janda mulih daha mempunyai kedudukan sama seperti saudara-saudara lainnya. Metodologi penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan bersifat diskriptif analistis dimana menggambarkan dan mengungkapkan sistem hukum adat setempat. Penulisan ini didasarkan atas basil wawancara dengan tokoh¬tokoh masyarakat dan beberapa janda mulih daha. Didaerah bali khususnya di desa adat Gesing Kabupaten Buleleng. Hasil dari penelitian ini masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka hal utama adalah keturunan laki-laki sebagai ahli waris, sehingga perempuan atau janda mulih daha bukanlah ahli waris mutlak namun hanya boleh menikmati laba atau bagian harta warisan orangtuanya. Sedangkan anak yang dilahirkan wanita mulih daha jika lahir perempuan secara otomatis ikut ibunya namun jika laki-laki sudah pasti ikut bapaknya kecuali ada perjanjian sebelum perkawinannya.
Legal Consequences To Woman of Mulih Daha according to Hereditary Law Bali (Study In Custom Village of Gesing District Of Banjar, Regency of Buleleng). According to Law Number 1 1974th, there are three broken cause of marriage him that is : because one of the breaking of marriage that is : because one of the couple have passed away, because justice decision and last because divorce. Among third the factor only divorce of which can make base is existence of mulih daha. Beside that woman family of mulih daha have to do expectation ceremony in place pray him family, with aim to express its woman child have returned in its family environment and witnessed by functionary of peripheral of custom countryside. Hereinafter widow of mulih daha have to domicile the [is] same as other brothers and sisters. literally pregnant mulih daha two word that is : mulih meaning to return home and daha mean girl. But word of daha alone can be interpreted, returning to domicile a woman which have married to become woman which have never executed marriage or return girl, but this matter cannot be interpreted biological Domiciling mulih daha is not represent coherent rights at a widow, so that automatically obtain to domicile as a girl (daha). Mulih Daha must be done in the affirmative from family of including family relationship of level. Beside that woman family of mulih daha have to do expectation ceremony in place pray him family, with aim to express its woman child have returned in its family environment and witnessed by functionary of peripheral of custom village. Hereinafter widow of mulih daha have to domicile the is same as other brothers and sisters. The writing methodologies use method of juridical empirical and have the character of descriptively of analysis where depicting and laying open local customary law system. This writing is based to the result of interview with elite figures and some widow of mulih daha. In Bali area specially in custom village of Gesing Regency of Buleleng. Result of from this research of Bali society embrace consanguinity system of patrilineal, hence especial matter is clan of men as heir, so that widow or woman of mulih daha is not absolute heir but shall only enjoy its old fellow heritage shares or profit. While borne by child is woman of mulih daha if delivering birth woman automatically follow its mother but if men beyond question follow its father except there is agreement before its marriage.