OM SWASTYASTU

PRATI SENTANA SANAK SAPTA RSI PASEK GELGEL
YEH SONG-GESING

A NAMO BHADRAH KRATAVO YANTU VISVATO ADABDHASO APARISATA UDBHIDAH, DEVA NO YATHA SADAMID VRDHE ASAN APRAYUVO RAKSITARO DIVE, DIVE



Rabu, 12 Oktober 2011

Lambang Keteguhan Hati



Malam semakin larut, upacara pun tetap berjalan, alunan doa mengiringi, tulus dan teguh demi suatu tujuan yang diharap. "Selamat jalan PEKAK, semoga .....mencapai keabadian yang sempurna" patahan kata terucap dalam hati (doa tulus dari seorang cucu "Gede Eriel Danitya K Santosa" yang baru berusia 4 tahun, teguh dan kukuh ikuti upacara pengabenan hingga usai, walau matanya mulai berat untuk terbuka).

Jumat, 23 September 2011

Pawiwahan Hindu

Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:


“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).


Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.


Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:


“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).


Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:


“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).


Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu
1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
4. Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
5. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
6. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
7. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
8. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.


Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
• Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:

“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).


• Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
• Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
• Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:


“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).


Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:


“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).


Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.


Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu. Perkawinan yang sakral tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan oleh sebab itu sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dahulu secara matang agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga setelah menikah.
Sumber: www.dharmavada.wordpress.com

Minggu, 26 Juni 2011

SUGIHAN JAWA, SUGIHAN BALI

Kata Sugihan, berasal darikata SUGIH. Dalam bahasa Bali, sugih itu artinya kaya. Bila dimaknai secara harfiah SUGIHAN itu berarti saatnya memperkaya diri, kaya dalam pengertian spiritual atau memperluas wawasan, cakrawala keyakinan diri.

Sugih juga bisa berarti pensucian, pembersihan atau peleburan. Semua yang didapatkan, apa yang diperoleh dari alam, sudah saatnya untuk dibersihkan, disucikan dan disatukan menjadi bekal utama dalam menjalankan perayaan Galungan, sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma.

Dalam beberapa periode perkembangan budaya ada kesalahan persepsi terhadap arti sugihan Jawa dan Bali itu, dalam konsep perbedaan geografis dan strata sosial. Salah kaprah itu masih terngiang, dimana sugihan Jawa, dianggap dirayakan oleh orang luar Bali, orang-orang biasa yang bukan keturunan bangsawan. Sedangkan sugihan Bali, hanya dirayakan oleh orang Bali asli, dari keturunan kasta para bangsawan.

Seiring perkembangan pemahaman filsafat agama berdasarkan sumber kitab suci Veda, makna sugihan tersebut kemudian diluruskan artinya. Istilah Jawa itu identik dengan jaba, artinya diluar, sedangkan Bali identik dengan wali, artinya kembali, kedalam diri. Jadi sugihan Jawa, berari pensucian diluar diri, pembersihan terhadap lingkungan, alam makrokosmos (bhuana agung). Sementara, Sugihan Bali, berarti pensucian kedalam diri sendiri, pembersihan terhadap alam mikrokosmos (bhuana alit).

Selasa, 14 Juni 2011

TUMPEK WARIGA atau UDUH

Tumpek bubuh / tumpek wariga juga disebut tumpek pengatag merupakan turunnya Hyang Ciwa untuk memelihara keharmonisan kehidupan di dunia. Perayaan tumpek wariga ini 25 hari menjelang Hari raya Galungan bertujuan agar pohon / tumbuh tumbuhan yang ada disekeliling kita diharapkan dapat memenuhi kebutuhan umatnya. Seperti tumbuh tumbuhan, daun daunan dan bunga bungaan .

Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.

Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.

Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak semata Bali. visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon.

Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi. Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.

Karenanya, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Bahkan, Bali tak perlu lagi dibuatkan tradisi baru: Hari atau Bulan Menanam Pohon.

TUMPEK WARIGA or UDUH

Tumpek Uduh also known as Tumpek Wariga or Tumpek Pengatag devoted to Sanghyang Sangkara, Lord of all food - plants when blessing ceremony is given to them for good crops and products, held at every plantation and farm throughout the island.

Nothing is more comfortable and peaceful than taking a rest under a dense tree especially in a hot sun-shining day. Some desert-caravans might be enthusiastically thankful if some dense tress grew along the way in the desert. Trees or plants are the breath of earth, and people should be grateful of their oxygen, fruits, leaves, food and their cool breeze. They are friends and food source of ours. Their life is our survival.They deserve to gain our attention, and should be right by our side in the sense of harmony. Ritually, Balinese have a special ceremony to beg any prosperity for vegetations so they can always provide their crops for mankind. A ceremony to say gratitude to Ida Sang Hyang Widhi Wasa (God) for His honor in providing food source in the form of vegetation.Such ceremony will be held on October 26th.

Tumpek Wariga is a ritual ceremony dedicated to the vegetations. It’s also known as Tumpek Pengarah or Tumpek Uduh or Tumpek Bubuh. It’s called as Tumpek Pengarah since it’s a day to give instruction/suggestion for the vegetation to provide a lot of food (fruits, leaves, etc). It enables the Balinese to make any preparation to hail Galungan Day that will come in a few weeks ahead. Pengarah means instruction. It comes once in every six months or every 210 days, suggesting the Balinese to worship God Sangkara the God of Vegetation. It’s a right time to beg the God to give His grace so the vegetation can provide a lot of crops.

Tumpek Bubuh is also its name since there is bubuh included in the offerings that’s dedicated to God Sangkara, the God of vegetation. Bubuh means porridge made from rice flour. In committing the ceremony, the bubuh is smeared on the tree bark as a symbol of fertilizers (the proper food for vegetation).

In Pangider-ider Bhuana (eight direction), Balinese worship the honor of God Sangkara at the SouthWest with His sacred color is green symbolizing the fertility. God Sangkara is also worshipped as Dewan Pa-nunggun Karang, the god who protects Balinese in houses. He will turn out into Sang Hyang Kala who will disturb the owner of house if the owner ignores His existence. Such character is quite similar to the characteristic of vegetation. Any effort of people to dam

age or to ignore the conservation of vegetation is only a kind of suicide. On the other hand, prosperity and comfort will come around whenever the vegetation is protected and conserved.

Concerning the deep meaning hidden behind this ceremony, Tumpek Wariga contains external and internal meaning for the Balinese. Wariga is the name of seventh wuku in Balinese calendar. Besides, it’s also a term to determine the appropriate or inappropriate day to have a ceremony or activity in Hinduism.

Ida Pandita Mpu Nabe Yoga Maha Bhirudhaksa said that Tumpek Wariga is a good day to beg any patronage for the sake of vegetation or plantation. It’s really forbidden to cut the trees or gathering any crop from the vegetation.

Vegetations that usually become the objects of consecration in this ceremony are coconut trees, durian trees, rambutan, etc. The offering consists of tumpeng agung, sesayut, pengambeyan, peras penyeneng, dapetan, porridge, pangresikan, sasap, candiga,gantung-gantungan, segehan cacahan putih, segehan panca warna (offering in five kind of color) and tetabuhan.

The process of ceremony firstly begins by installing sasap and candiga on the tree trunks, which previously covered in a white band. Beneath the trees there is a asapan(a kind of shrine) to place the offerings. "All of the offerings are placed on the asapan except segehan. It’s placed on the ground cause it’s dedicated to Bhutas (invisible creatures)," says Pandita Mpu (Holy Priest) of Griya Asitasari, Banjar Lebah Pangkung, Mengwi-Badung. As the preparation is done, the offerings then are ritually offered to the honor of God Sangkara by firstly sprinkling the holy water, continued by pangresikan (sanctification), panyeneng and sesajen. Finally, the ceremony is lasted by offering the segehan, and smearing the porridge to tree trunks while saying such as follows: "Kaki kaki, tiang mapengarah, malih 25 dina Galungan, mabuah apang nged nged nged". (Provide us a lot of crop cause Galungan is coming within 25 days). balidwipa.com

Rabu, 01 Juni 2011

OTONAN, PERAYAAN HARI LAHIR YANG SEBENARNYA

OTONAN,
BUDAYA LUHUR PERINGATAN HARI LAHIR BAGI UMAT HINDU

Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang “Bali”. Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).

Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.

Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol­-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.

Sebagai contoh : Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa : “Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi” (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).

Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.

2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.

Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.

Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: “Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu “bencah” (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).

Dari doa tersebut dapat dilihat makna:

1. “Ngilehang sampan ngilehang perahu” bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita.

2. “Batu makocok” adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.

3. “Tungked bungbungan” (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. “Perahu hidup ini” jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai memper­gunakan tongkat (usia tua).

4. “Teked dipasisi napetang perahu bencah” (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak.

Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra­-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.

Arti Ini upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
Sarana
Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara.
Upakara yang lebih besar Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua.
Tata cara
1 Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2 Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3 Penghormatan terhadap leluhur.
4 Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5 Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.
Mantram-mantramnya
Mantram untuk gunting: Artinya :
Om yatawya sakai panem sudi kesuma anindih papa klesa winasasyat. Bhangkara mantram utaman. Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pencipta, hamba mohon agar gunting ini suci sanggup melebur mala petaka.
Mantram cincin Artinya :
Om ong tejo sakalpanem sud katri maha sidhi papa kiesa winasasyat. Tatkara mantram utaman. Om Hyang Widhi Wasa dalam wujud aksara maha suci yang merupakan mantram utama sebagai anugrah-Mu semoga lebur segala dosa.
Mantram Panca Kusika Artinya :
Om kusa srikusa widnyanem pawitrem, papanasanem papa klesa winasasyat Mangkara mantram utama. Om Hyang Widhi Wasa dalam wujud aksara suci Mangkara, semoga melimpahkan kebahagiaan, pengetahuan suci dan melebur segala dosa.
Mantram menggunting rambut :
Depan : Artinya :
Om Sang sadya ya namah, hilanganing papa klesa pataka. Om Hyang Widhi Wasa, semoga musnah segala dosa dan kesengsaraan anak ini.
Kanan: Artinya:
Om Bhang Bama Dewa ya namah, hilanganing tara roga wighena. Om Hyang Widhi Wasa, semoga musnah segala penyakit anak ini.
Kiri: Artinya:
Om Ang Agora ya namah, hilanganing gring sasab merana. Om Hyang Widhi Wasa, semoga hilang wabah yang akan menimpa anak kami.
Belakang: Artinya :
Om Tang tat purusa ya namah, hilanganing gegodan satru musuh. Om Hyang Widhi Wasa, semoga anak kami terhindar dari godaan musuh.
Di tengah: Artinya :
Om Ing Isana ya namah, hilanganing sebel kandel sang pinetik. Om Sang Hyang Widhi Wasa, semoga hilang segala noda anak ini.

Otonan, Balinese Birthday Celebration


Month by month has gone by and another year is coming. Time is so significant to humans when he performs action and writes down his story of life. When having arrived at certain point, he may need a short break for an introspection and commemoration of a beautiful moment in his lifetime. Yes, it’s commonly known as birthday, an annual celebration of the day on which one was born.

Etymologically, there may have been a common ‘misperception’ here where birthday in the Gregorian calendar should be celebrated on the same day as the word suggests and not the same date (should be birth date). On the contrary, otonan in the Balinese (Hindu) tradition is similar thing but of different context. This one is celebrated every 210 days on the same day based on Javano-Balinese wuku year. So, it can be said a real birthday. For example if one was born on Wednesday (day) Kliwon (five-day week) Dungulan (one of thirty wukus), he will celebrate his otonan on the same day as above.

Another difference between the two is the dating system, particularly on the starting point of new date. If the Gregorian starts at 00:01, the wuku at the sunrise. Sometimes, there is also misunderstanding among some Balinese to determine the day of a baby that was born at dawn. Let’s say on Wednesday Kliwon Dungulan at 04:00.

Based on Gregorian calendar, the day and date have belonged to the next (Thursday) and will become its ‘birth date’ later. However, its otonan should not follow this calendar system, but as the baby was born at 04:00, it should belong to Wednesday (Buda) based on the wuku system. This misdating may often inflict mistakes in determining his otonan day and its character does not accord with the Hindu astrology. This then needs something like ritual adjustment in Hindu belief to the appropriate day through an exorcism rite as mentioned in palm-leaf manuscript that commonly used as reference like Wrehaspati Kalpa.

Otonan (birthday) in Balinese tradition is actually a private and comprehensive ritual that only celebrated by the family internally. By certain kinds of oblation, the ritual is intended for one’s inner and outer self along with his kanda empat or four companions that are believed to accompany him since birth to the end of lifetime and even the period after death.

They are expressed in personification as amniotic fluid, vernix cascosa, the afterbirth and the blood. In Hindu belief, the names of the four companions will change in keeping with the increasing age of the human self and so are the places where they indwell. The four will loyally keep the self in this world. If ‘spiritual’ communication and empowerment run well among the five, one will never feel fearful wherever he goes and can do healing. As loyal and eternal companions, too, they will accompany the self around the clock. By doing this, they will know every single deed of the self during its interaction with corporeal body. After death, on facing the court of Yama, no facts can be hidden or no lies can be told, as the four companions will deliver the true witness.

In essence, otonan(birthday) is an immensely important celebration for the Hindus. It constitutes right moment to reorganize, encourage the relationship of human self with the four integrated companions as the otonan contains two dimensional aspects, both sekala (visible) and niskala (invisible). By this, it is also expected to promote harmony between the body with soul and finally reach eternal bliss here and after.

Jumat, 06 Mei 2011

Hari Suci Tumpek Landep

Tumpek Landep dirayakan setiap Sanisara Kliwon Wuku Landep. Tumpek Landep berasal dari kata Tumpek yang berarti Tampek atau dekat dan Landep yang berarti Tajam. Jadi dalam konteks filosofis, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai - nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Jadi setelah mempertingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunya ilmu pengetahuan, maka setelah itu umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau memberi ketajaman pikiran dan hati. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan besi. Namun seiring perkembangan jaman, makna tumpek landep menjadi bias dan semakin menyimpang dari makna sesungguhnya.

Sekarang ini masyarakat justru memaknai tumpek landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep melakukan upacara terhadap motor, mobil dan peralatan kerja namun jangan melupakan inti dari pelaksanaan Tumpek Landep itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri.

Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan. Tumpek landep adalah tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran - ajaran agama. Pada rerainan tumek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur. Bagi para seniman, tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk memohon taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari masyarakat serta mampu menyampaikan pesan - pesan moral guna mendidik dan mencerdaskan umat.

Jadi sekali lagi ditegaskan, Tumpek Landep bukan rerainan untuk mengupacarai motor, mobil ataupun perabotan besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat manusia. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep mengupacarai motor, mobil dan sebagainya sebagai bentuk syukur namun itu adalah nilai tambahan saja. Jangan sampai perayaan rerainan menitik beratkan pada nilai tambahan namun melupakan inti pokok dari rerainan tersebut

Rabu, 23 Februari 2011

Hari Raya Suci Nyepi (Tahun Caka)


Hari raya Nyepi oleh umat hindu di Bali dirayakan sebagai hari pergantian tahun baru Caka. Hari raya ini menurut penanggalan hindu jatuh pada tanggal satu (penanggal pisan) sasih X (kedasa) atau tepatnya sehari sesudah tilem ke IX (kesanga). Terdapat beberapa rangkaian pelakasanaan hari raya Nyepi ini, yaitu:

Melasti

Melasti sering disebut dengan Melis atau Mekiis. Upacara melasti ini dilakukan pada pengelong 13 sasih kesanga (tepatnya traodasa kresnapaksa sasih IX). Pada upacara melasti ini dilakukan pensucian atau pembersihan segala sarana atau prasarana persembahyangan. Alat-alat atau sarana persembahyangan yang dibersihkan antara lain adalah: pratima dan pralingga. Sarana-sarana ini selanjutnya diusung ke tempat pembersihan seperti laut (pantai) atau sumber mata air lain yang dianggap suci, sesuai dengan keadaan tempat pelaksanaan upacara (desa, kala, patra). Tujuan dari upacara melasti ini adalah untuk memohon tirtha amerta sebagai air pembersih dari Hyang Widhi.

Tawur Kesanga

Tawur kesanga jatuh sehari sebelum pelaksanaan hari raya nyepi yaitu pada tilem kesanga. Pada upacara tawur ini dilakukan persembahan kepada para bhuta berupa caru. Caru ini dipesembahkan agar para bhuta tidak menurunkan sifat-sifatnya pada pelaksanaan hari raya nyepi. Hal ini juga bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur jahat dari diri manusia sehingga tidak mengikuti manusia pada tahun berikutnya. Upacara tawur kesanga ini sering juga disebut dengan upacara pecaruan dan juga tergolong upacara bhuta yadnya.

Hari Nyepi

Hari raya nyepi dirayakan oleh umat dengan cara melakukan Catur Bratha Penyepian. Catur bratha penyepian terdiri dari empat macam pantangan yaitu: amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bekerja) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan in dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai suatu ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran manusia bisa terintropeksi atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada saat yang sama memupuk perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini dilakukan selama satu hari penuh pada hari raya nyepi.

Ngembak Geni

Sehari setelah hari raya nyepi, semua aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Hari ini dimulai dengan persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi untuk kebaikan pada tahun yang baru. Pada hari ngembak geni ini hendaknya umat saling bersilatuahmi dan memaafkan satu sama lain.

Hari raya nyepi pada hakekatnya adalah hari pengekangan hawa nafsu dan intropeksi diri atas segala perbuatan yang dilakukan pada masa lalu. Pelaksanaan hari raya nyepi ini harus didasari dengan niat yang kuat, tulus dan ikhlas tanpa ada ambisi tertentu. Pengekangan hawa nafsu untuk mencapai kebebasan batin memang suatu ikatan tetapi ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan. (hindubatam.com)

Pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu


Pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Sradha, yaitu percaya adanya Tuhan (Hyang Widhi), percaya adanya Atman, percaya adanya Hukum Karma Phala, percaya adanya Punarbhawa (Reinkarnasi/ Samsara) dan percaya adanya Moksa.

A. Percaya Adanya Tuhan ( Brahman/ Hyang Widhi) Tuhan Yang Maha Esa,

Yang Maha Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun Ia hanya satu, Tunggal adanya.

“Ekam eva adwityam Brahma”
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.

“Eko Narayanad na dityo ‘sti kascit”
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya

“Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.

Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini

B. Percaya Adanya Atman.

Atman adalah percikan kecil dari Paramatman (Hyang Widhi/ Brahman). Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan adalah laksana kusir dengan kereta. Kusir adalah Atman yang mengemudikan dan kereta adalah badan. Demikian Atman itu menghidupi sarwa prani (makhluk) di alam semesta ini “Angusthamatrah Purusa ntaratman Sada Jananam hrdaya samnivish thah Hrada mnisi manasbhiklrto Yaetad, viduramrtaste bhavanti. Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran, mereka yang mengetahuinya menjadi abadi.

C. Percaya adanya Hukum Karma Phala

Di dalam Weda disebutkan “Karma phala ngaran ika palaning gawe hala ayu” artinya karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma. Karma phala dapat digolongkan menjadi tiga macam sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima hasilnya, yaitu :

  1. Sancita Karma Phala : hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang.
  2. Prarabda Karma Phala: hasil perbuatan kita pada kehidupan saat ini tanpa ada sisanya lagi.
  3. Kriyamana Karma Phala: hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.

D. Percaya adanya Punarbhawa/ Reinkarnasi/ Samsara

Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian diikuti oleh kelahiran”.

Sribhagavan uvacha :
bahuni me vyatitani
janmani tava cha ‘rjuna
tani aham veda sarvani
na tvam vettha paramtapa.

Sri bhagawan (Tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak, Parantapa.

E. Percaya Adanya Moksa

Sebagaimana tujuan agama Hindu yang tersurat di dalam Weda, yakni “Moksartham jagadhitaya ca iti dharma”, maka moksa merupakan tujuan yang tertinggi. Moksa adalah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman dari pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadarn dan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda. Diambil dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu. (hindubatam.com)

Reikarnasi/Punarbhawa/Samsara

Reikarnasi/Punarbhawa/Samsara berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian diikuti oleh kelahiran”. Dalam suatu sloka disebutkan:

Sribhagavan uvacha :
bahuni me vyatitani
janmani tava cha ‘rjuna
tani aham veda sarvani
na tvam vettha paramtapa. (Bh. G. IV.5)

Sri bhagawan (Tuhan) bersabda :
banyak kelahiran-Ku di masa lalu
demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu
tetapi engkau sendiri tidak
Parantapa.

Reinkarnasi memiliki hubungan yang erat dengan Karma yang mana keduanya merupakan suatu proses yang terjalin erat satu sama lain. Reinkarnasi dapat dikatakan sebagai kesimpulan atas semua karma yang telah didapat dalam suatu masa kehidupan. Baik buruknya karma yang dimiliki seseorang akan menentukan tingkat kehidupannya pada reinkarnasi berikutnya.

Dengan keyakinan terhadap reinkarnasi ini dan hubungannya dengan karma, maka umat harus sadar bahwa kehidupan sekarang ini merupakan kesempatan yang baik untuk memperbaiki diri demi kehidupan yang lebih baik pada masa datang. (hindubatam.com)

Selasa, 15 Februari 2011

Dasa Awatara, sepuluh Awatara Wisnu

Dasa Awatara, sepuluh Awatara Wisnu

Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.

Dasa Awatara dari zaman ke zaman

Jenis-jenis Awatara

Menurut kitab-kitab purana, tak terhitung banyaknya Awatara yang pernah turun ke dunia ini. Awatara-awatara tersebut tidak selamanya merupakan “inkarnasi langsung” atau “penjelmaan langsung” dari Sang Hyang Wisnu. Beberapa Awatara diyakini memiliki “jiwa yang terberkati” atau mendapat “kekuatan Tuhan” sebagai makhluk yang terpilih.

Purusha Awatara: Awatara pertama Sang Hyang Wisnu yang mempengaruhi penciptaan alam semesta. Awatara tersebut yakni:

Menurut Bhagavad Gītā:

  • Kāranodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu): Wisnu yang berbaring dalam lautan penyebab dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung;
  • Garbhodakaśāyī Vishnu: Wisnu masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa;
  • Ksirodakasāyī Vishnu (Roh utama): Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.

Guna Awatara: Awatara-Awatara yang mengatur tiga macam aspek dalam diri makhluk hidup. Awatara-Awatara tersebut yakni:

Lila Awatara: Awatara yang sering ditampilkan dalam kitab-kitab Purana, seperti Dasa Awatara dan Awatara lainnya. Awatara tersebut turun secara teratur ke dunia, dari zaman ke zaman untuk menjalankan misi menegakkan Dharma dan menunjukkan jalan Bhakti dan Moksha.

Manwantara Awatara: Awatara yang diyakini sebagai pencipta para leluhur dari umat manusia di muka bumi. (lihat: Manu)

Shaktyawesa Awatara: ada dua jenis – 1)makhluk yang merupakan penjelmaan Wisnu secara langsung; dan 2)makhluk diberkati yang mendapatkan kekuatan dari Wisnu. Jenis tersebut memiliki jumlah yang besar, dan merupakan Awatara yang istimewa. Awatara jenis ini, misalnya saja Narada Muni atau Sang Buddha. Awatara jenis tersebut kadang-kadang dikenal dengan sebutan Saktyamsavatar, Saktyaveshavatar atau Avesha avatar. Awatara lain yang termasuk jenis kedua, misalnya Parashurama, yang mana Dewa Wisnu tidak secara langsung menjelma. Dalam jenis yang kedua tersebut, menurut Srivaishnavism, ada dua macam lagi, yakni: 1)Wisnu memasuki jiwa makhluk yang terpilih tersebut (seperti Parashurama); 2)Wisnu tidak memasuki jiwa secara langsung, namun memberikan kekuatan suci (misalnya Vyasa, penyusun Veda).

Awatara jenis kedua tersebut tidak dipuja sebagaimana mestinya Awatara yang lain. Hanya Awatara yang merupakan penjelmaan langsung yang kini sering dipuja, seperti Narasimha, Rama, dan Sri Krishna. Menurut aliran Waisnawa, Krishna merupakan Awatara yang tertinggi di antara Awatara yang lain. Namun, pengikut Sri Chaitanya (termasuk ISKCON), Nimbarka, Vallabhacharya memiliki filsafat berbeda dengan pengikut aliran Waisnawa, seperti Ramanuja dan Madhva dan menganggap bahwa Krishna merupakan kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa, dan bukan seorang Awatara belaka. Dalam beberapa filsafat Hinduisme, tidak ada perbedaan dalam memuja Sang Hyang Wisnu ataupun Awataranya karena semua pemujaan tersebut akan menuju kepada-Nya.

[sunting] Awatara dalam Bhagawatapurana

Sebanyak empat puluh awatara Wisnu yang spesifik disebutkan dalam kitab Bhagawatapurana, meskipun kitab tersebut menambahkan bahwa jumlah tersebut tidak terhitung banyaknya.[1] 22 awatara Wisnu terdaftar dalam buku pertama sesuai urutannya:[2]

  1. Catursana (Caturkumara) [BP 1.3.6] - empat putra Brahma
  2. Waraha [BP 1.3.7]
  3. Narada [BP 1.3.8] - resi yang berkelana ke seluruh dunia sebagai pemuja Wisnu
  4. Nara dan Narayana [BP 1.3.9] - resi kembar
  5. Kapila [BP 1.3.10] - salah satu resi yang mendirikan aliran filsafat Samkhya
  6. Dattatreya [BP 1.3.11] - kombinasi awatara Brahma, Wisnu dan Siwa
  7. Yadnya [BP 1.3.12] - penguasa upacara, yang sempat menjabat sebagai Indra, raja para dewa
  8. Resaba [BP 1.3.13] - ayah Barata dan Bahubali
  9. Pertu [BP 1.3.14] - maharaja yang memerah bumi dalam wujud sapi dan mengembangkan sistem bercocok tanam
  10. Matsya [BP 1.3.15]
  11. Kurma [BP 1.3.16]
  12. Dhanwantari [BP 1.3.17] - bapak ilmu pengobatan (Ayurweda)
  13. Mohini [BP 1.3.17] - wanita yang memikat
  14. Narasinga [BP 1.3.18]
  15. Wamana [BP 1.3.19]
  16. Parasurama [BP 1.3.20]
  17. Byasa [BP] 1.3.21] - pemilah Weda, penyusun Purana dan Mahabharata
  18. Rama [BP 1.3.22]
  19. Baladewa (Balarama) [BP 1.3.23]
  20. Kresna [BP 1.3.23]
  21. Buddha [BP 1.3.24]
  22. Kalki [BP 1.3.25]

Di samping itu, empat awatara lainnya disebutkan kemudian dalam kitab tersebut sebagai berikut:

  1. Presnigarba [BP 10.3.41] - putra Presni
  2. Hayagriwa [BP 2.7.11] - awatara berkepala kuda
  3. Angsa [BP 11.13.19] - angsa
  4. Awatara Emas [BP 11.5.32] - awatara pada zaman Kaliyuga yang menyebarkan hari-namasankirtan.[3]

PARA DEWA MANIFESTASI IDA SANG HYANG WIDHI WASA, TUHAN YANG MAHA ESA II

Arah




Barat Daya Barat Barat Laut Tengah
Dewa




Rudra Mahadewa Sangkara Siwa
Shakti




Samodhi Sachi Rodri Durga
Senjata




Moksala Nagapasa Angkus Padma
Wahana




Kerbau Naga Singa Lembu
Warna




Jingga Kuning Hijau Pancawarna
Bhuta




Jingga Lembu Kanya Gadang Tiga Sakti
Aksara




Ma Ta Si I / Ya
Urip




3 7 1 8
Triwara




- - - -
Caturwara




- - - -
Pancawara




- Pon - Kliwon
Sadwara




Maulu Tungleh - -
Saptawara




Anggara Buddha - -
Astawara




Rudra Brahma Kala -
Sangawara




Gigis Nohan Ogan Erangan
Wuku




Warigadian, Pahang,
Prangbakat
Sinta, Julungwangi,
Krulut, Bala
Landep, Sungsang,
Merakih, Ugu
-
Sasih




Kaulu, Kasanga Kedasa Jyesta, Sadha -
Bhuwana
Alit





Usus Ungsilan Limpa Tumpuking
hati

PARA DEWA MANIFESTASI IDA SANG HYANG WIDHI WASA, TUHAN YANG MAHA ESA I

Arah Utara Timur Laut Timur Tenggara Selatan



Dewa Wisnu Sambhu Iswara Maheswara Brahma



Shakti Sri Mahadewi Uma Lakshmi Saraswati



Senjata Chakra Trisula Bajra Dupa Gada



Wahana Garuda Wilmana Gajah Macan Angsa



Warna Hitam Biru Putih Dadu Merah



Bhuta Taruna Pelung Jangkitan Dadu Langkir



Aksara A Wa Sa Na Ba



Urip 4 6 5 8 9



Triwara Beteng - Kajeng - Pasah



Caturwara - Sri Laba Jaya Menala



Pancawara Wage - Umanis - Pahing



Sadwara - Aryang Urukung Paniron Was



Saptawara Soma Sukra Redite Wraspati Saniscara



Astawara Uma Sri Indra Guru Yama



Sangawara Urungan Tulus Dadi Dangu Jangur



Wuku Ukir, Dungulan,
Tambir, Wayang
Kulantir, Kuningan,
Medangkungan, Kulawu
Tolu, Langkir,
Matal, Dukut
Gumbreg, Medangsia,
Uye, Watugunung
Wariga, Pujut,
Menail




Sasih Kasa Karo, Katiga Kapat Kalima, Kanem Kapitu



Bhuwana
Alit
Ampru Ineban Pepusuh Peparu Hati




Kamis, 13 Januari 2011

Bali, Paradise Island


The island of Bali is part of the Republic of Indonesia and is located 8 to 9 degrees south of the equator between Java in the West and Lombok and the rest of the Lesser Sunda Islands (Sumbawa, Flores, Sumba and Timor) in the East. Flying time to Jakarta is about 1.5 hours, to Singapore and Perth (Australia) 2.5 and 3 hours, to Hong Kong about 4.5 hours, and to Sydney/Melbourne about 5.5 to 6 hours.

The island of Bali has an area of only 5,632 square kilometers (2,175 square miles) and measures just 55 miles (90 kilometers) along the north-south axis and less than about 90 miles (140 kilometers) from East to West. Because of this it's no problem to explore the island on day tours. You can go wherever you want on the island and return to your hotel or villa in the evening.

Located only two kilometers east of Jawa, Bali's climate, flora and fauna are quite similar to its much larger neighbour. The island is famous for its beautiful landscape. A chain of six volcanoes, between 1,350 meters and 3,014 meters high, stretches from west to east. There are lush tropical forests, pristine crater lakes, fast flowing rivers and deep ravines, picturesque rice terraces, and fertile vegetable and fruit gardens. The beaches in the South consist of white sand, beaches in other parts of the island are covered with gray or black volcanic sand.

The wide variety of tropical plants is surprising. You'll see huge banyan trees in villages and temple grounds, tamarind trees in the North, clove trees in the highlands, acacia trees, flame trees, and mangroves in the South. In Bali grow a dozen species of coconut palms and even more varieties of bamboo.

And there are flowers, flowers everywhere. You'll see (and smell the fragrance of) hibiscus, bougainvillea, jasmine, and water lilies. Magnolia, frangipani, and a variety of orchids are found in many front yards and gardens, along roads, and in temple grounds. Flowers are also used as decorations in temples, on statues, as offerings for the gods, and during prayers. Dancers wear blossoms in their crowns, and even the flower behind the ear of your waitress seems natural in Bali.

Elephants and tigers don't exist any more in Bali since early this century. Wildlife, however, includes various species of monkeys, civets, barking deer and mouse deer, and 300 species of birds including wild fowl, dollar birds, blue kingfishers, sea eagles, sandpipers, white herons and egrets, cuckoos, wood swallows, sparrows, and starlings. You can watch schools of dolphins near Lovina, Candi Dasa, and Padangbai. Divers will see many colorful coral fish and small reef fish, moray eels, and plankton eating whale sharks as well as crustaceans, sponges, and colorful coral along the east coast and around Menjangan Island near Gilimanuk.

You can expect pleasant day temperatures between 20 to 33 degrees Celsius or 68 to 93 degrees Fahrenheit year-round. From December to March, the West monsoon can bring heavy showers and high humidity, but usually days are sunny and the rains start during the night and pass quickly. From June to September the humidity is low, and it can be quite cool in the evenings. During this time of the year, you'll have hardly any rain in the coastal areas.

Even when it rains in most parts of Bali you can often enjoy sunny days on the "Bukit", the hill south of Jimbaran Beach. On the other hand, in Ubud and the mountains you must expect cloudy skies and showers throughout the year (this is why the international weather reports for "Denpasar" or "Bali" mention showers and rain storms during all times of the year). In higher regions such as in Bedugul or Kintamani you'll also need either a sweater or jacket after the sun sets.

Bali's population has grown to over 3 million people the overwhelming majority of which are Hindus. However, the number of Muslims is steadily increasing through immigration of people from Java, Lombok and other areas of Indonesia who seek work in Bali.

Most people live in the coastal areas in the South, and the island's largest town and administrative center is fast growing Denpasar with a population of now over 370,000. The villages between the town of Ubud and Denpasar, Kuta (including Jimbaran, Tuban, and Legian, Seminyak, Basangkasa, etc), Sanur, and Nusa Dua are spreading rapidly in all directions, and before long the whole area from Ubud in the North to Sanur in the East, Berawa/Canggu in the West, and Nusa Dua in the South will be urbanized.

This southern part of Bali is where most jobs are to be found, either in the hotel and tourist industry, the textile and garment industry, and in many small scale and home industries producing handicrafts and souvenirs. Textiles, garments, and handicrafts have become the backbone of Bali's economy providing 300,000 jobs, and exports have been increasing by around 15% per year to over US$400 million. Textiles and garments contribute about 45%, and wood products including statues, furniture and other handicrafts 22% to the province's total income from exports. Silver work is ranked third (4.65%) with 5,000 workers employed. Main buyers are the US and Europe with 38% each, and Japan with 9%.

Important agricultural products besides rice are tea, coffee, tobacco, cacao, copra, vanilla, soy beans, chilies, fruit, and vegetable (there are now even vineyards near the northwest coast). Bali's fishing industry and seaweed farming provide other products which are important exports.

The new free-trade regulations will create some problems for Bali's exporters as they do not allow to employ children. Most children here work for their parents, and this is part of the process of acquiring professional skills and kind of an informal education which has been very important in the Balinese society for centuries.

There is the combination of the friendly people, the natural attractions, the great variety of things to see and do, the year-round pleasant climate, and the absence of security problems. And then there is Bali's special "magic", which is difficult to explain.

As soon as you step off the plane you might sense the difference. In the villages you'll notice the quietness and wisdom in old people's faces, and the interest and respect in the young's. Old men sit at the road side caressing their fighting cocks. Beautifully dressed women walk proudly through rice fields and forests carrying offerings on their heads to the next temple. There is the smell of flowers, and in the distance you hear the sound of gamelan music.

Gods and spirits have been an important part of Bali's daily life for hundreds of years. Gunung Agung – Bali's holy mountain – is internationally regarded as one of the eight "Chakra" points of the world. This may be more than an coincident. Watch out, the moment you feel the magic of this island, you're addicted for the rest of your life. www.baliguide.com